Setiap menitnya tujuh bayi lahir di
bumi Indonesia. Terus bertambahnya jumlah penduduk berimplikasi pada kebutuhan akan lahan, dan
keterbatasan ketersediaan lahan akan memunculkan masalah pada titik tertentu
nantinya. Saat ini misalnya, kepadatan penduduk di Kota Bandung adalah 13,679
kepala/ km2. Jika dipaksakan, akan muncul pemukiman-pemukiman penduduk yang
padat dan dibangun secara tidak teratur dan tanpa pengawasan sehingga akan
berpengaruh pada kualitas pemukiman yang rendah akibat kurangnya sarana dan
prasarana lingkungan yang memadai.
Bukan hanya persoalan kepadatan
penduduk, di beberapa wilayah perencanaan wilayahnya memang seringkali tidak
jelas. Beberapa memiliki penataan ruang dan pengembangan wilayah yang
diaplikasikan secara inkosisten dan kontraproduktif terhadap RTRW(Rencana Tata
Ruang Wilayah) sendiri, beberapa lagi bahkan tidak/belu memiliki RTRW.
Kondisi-kondisi demikian sangat memprihatinkan, artinya pembangunan wilayah ini
berjalan tanpa arah dan panduan sama sekali.
Kemunculan masalah-masalah kualitas
pemukiman dan penataan ruang secara umum menjadi PR bagi pemerintah.
Masalah-masalah ini dapat berpengaruh pada aspek sosial kehidupan, ekonomi,
hingga kesehatan. Dan untuk menyelesaikan problem penataan ruang, pemerintah
juga umumnya terkendala beberapa masalah lain seperti masalah pengadaan tanah,
ganti rugi, kriteria kepentingan umum, dan lain sebagainya. Penyelesaian
persoalan ruang/tanah selalu menjadi permasalahan yang pelik, mengingat
perannya yang vital dalam hidup manusia sebagai tempat tinggal. Meskipun
penataan ini pada niat baiknya merupakan pekerjaan untuk kepentingan umum, namun
pengertian dan ruang lingkup kepentingan umum ini belum jelas sehingga pemilik
tanah selalu merasa tidak puas dengan ganti rugi yang disepakati dan dianggap
tidak memadai dan tidak layak. Dan pembebasan hak atas tanah yang tidak
diiringi dengan ganti rugi yang layak justru akan menjadi penyebab semakin
banyaknya kemiskinan.
Dari sekian masalah yang dijabarkan
diperlukan suatu metode pembangunan yang dapat menjawab persoalan keruangan tanpa
membuat masyarakat merasa dirugikan dengan pembangunan yang dilakukan. Oleh
sebab itu beberapa wilayah menawarkan suatu konsep penataan ruang yang disebut
sebagai Konsolidasi Tanah Perkotaan dan Konsolidasi Tanah Perdesaan. Merujuk
pada Perka BPN nomor 4 tahun 1991, konsolidasi tanah didefinisikan sebagai
kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan
tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, untuk
meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumberdaya alam dengan
melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
Secara sederhana konsolidasi tanah
dapat dipahami sebagai usaha pengaturan lahan yang melibatkan masyarakat
sebagai pemilik sah lahan, untuk ditata ulang kepemilikan lahannya serta
penambahan sarana-prasarana umum di kawasan tersebut dengan kesepakatan para pemilik
lahan. Pada metode ini pembangunan dilaksanakan tanpa perlu melakukan
pembebasan lahan, karena proses ini adalah bagian yang paling sering bermasalah
di setiap kehendak pembangunan. Kompensasi kepada masyarakat pada kasus ini
bukan berupa uang, melainkan diberikannya tata lahan yang baik dan lebih
strategis, serta pengadaan fasilitas-fasilitas umum dan sosial. Konsolidasi
tanah bertujuan untuk mencapai pemanfaatan tanah secara optimal, melalui
peningkatan efisiensi dan produktifitas pengunaan tanah, serta mewujudkan suatu
tatanan penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur. Selain itu,
konsolidasi tanah juga memberikan keuntungan lain pada pemilik tanah, sebab
kepemilikan tanah di kawasan yang lebih
strategis dan tertata dapat menaikkan nilai harga tanah.
Figure 1. Ilustrasi sederhana konsolidasi tanah (https://bpn16.wordpress.com
)
Tahapan-tahapan konsolidasi tanah meliputi beberapa
kegiatan:
1.
Pemilihan lokasi
2.
Penyuluhan
3.
Penjajagan kesepakatan
4.
Penetapan lokasi konsolidasi tanah dengan SK
Bupati/Walikota Kepala Daerah Tingkat II
5.
Pengajuan daftar usulan rencana kegiatan
konsolidasi tanah
6.
Identifikasi subjek dan objek
7.
Pengukuran dan pemetaan keliling
8.
Pengukuran dan pemetaan rincian
9.
Pengukuran topografi dan pemetaan penggunaan
tanah
10.
Pembuatan blok plan.pra desain tata ruang
11.
Pembuatan desain tata ruang
12.
Musyawarah tentang rencana penataan kalping baru
13.
Pelepasan hak atas tanah oleh peserta
14.
Penegasan tanah sebagai sebagai objek
konsolidasi tanah
15.
Staking
out/ re-alokasi
16.
Konstruksi/ pembentukan badan jalan, dan
lain-lain
17.
Redistribusi/ penerbitan SK. Pemberian hak
18.
Sertifikasi
Teknik geodesi dan geomatika
sebagai suatu bidang yang secara umum berkaitan dengan geospasial/ keruangan di
muka bumi pada tataran tertentu memiliki andil terhadap penataan keruangan
suatu wilayah, termasuk pada kasus konsolidasi tanah. Semua tahapan kegiatan
konsolidasi tanah adalah aspek-aspek yang jurusan ini dapat bidangi. Misalnya,
pemilihan lokasi. Dengan pemahaman spasial/keruangan sebagai salah satu aspek
yang harus dikuasai, sarjana Teknik Geodesi dituntut untuk memahami daerah mana
yang perlu untuk dilakukan konsolidasi segera, mana yang dapat ditunda, hingga
yang tidak perlu dilakukan konsolidasi tanah sama sekali. Termasuk setelahnya
kemampuan lobbying dalam
penjajagan-penjajagan kesepakatan dan musayarah.
Setelah itu, pada tahapan-tahapan
pengukuran dan pemetaan wilayah untuk mewujudkan keputusan-keputusan yang vital
berkeadilan ini jelas secara spesifik merupakan pekerjaan geodesi. Peta yang
baik dan dapat menggambarkan keadaan sebenarnya, baik pada peta detil maupun
peta topografi adalah kemampuan yang khusus dimiliki oleh bidang Teknik
geodesi. Menyerahkan pekerjaan ini kepada pihak lain dapat dikatakan merupakan
tindakan tidak bertanggungjawab karena menyerahkan sesuatu tidak kepada ahli di
bidangnya, apalagi teknis-teknisnya diatur dalam Surat Edaran Kepala BPN Nomor
410-1978 tentang Petunjuk Teknik Konsolidasi Tanah. Sebab peta yang baik akan
membantu kepada pembuatan desain yang baik dan estimasi earthworks terbaik nantinya, serta mewujudkan output konsolidasi lahan yang seadil-adilnya terutama dalam hal
penataan ulang kepemilikan kapling sebagai suatu bagian yang sensitif pada
proses konsolidasi tanah. Sebab bagian yang terakhir disebut ini merupakan
bagian yang tidak dapat dilakukan secara sembarangan, maka pada bagian ini
diperlukan pertimbangan-pertimbangan yang matang serta proses-proses yang
transparan untuk diketahui masyarakat peserta konsolidasi.
Selanjutnya pada proses re-alokasi
dan konstruksi juga merupakan bagian yang dibidangi oleh Teknik geodesi,
terutama di re-alokasi. Desain yang sudah dibuat dan disepakati sebelumnya,
merupakan pijakan yang wajib ditaati pada proses alokasi lahan dan konstruksi
sebab kesalahan sedikit saja bisa memunculkan protes dan amarah masyarakat,
oleh sebab itu proses ini juga harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Melakukan
dan memastikan penempatan titik-titik pada desain ke lapangan telah sesuai
merupakan pekerjaan yang dilakukan pada tahap ini.
Tahapan terakhir yakni penerbitan
SK dan sertipikasi lahan. Tahapan ini merupakan kewenangan Badan Pertanahan
Nasional. Teknik geodesi sebagai suatu disiplin ilmu yang memang secara unik
mempelajari permukaan tanah tentu memiliki legitimasi lebih dalam hal mengatur
urusan pertanahan, sehingga pun pada akhirnya sangat wajar apabila banyak
lulusan Teknik geodesi yang bekerja di BPN.
Biar bagaimanapun perlu dipahami
bahwa pekerjaan adalah sesuatu yang multidisiplin, begitupun pada pekerjaan
ini. Sehingga selain menjadi lahan bagi pekerjaan-pekerjaan geodesi,
konsolidasi tanah juga menjadi pekerjaan bagi disiplin ilmu yang lain seperti
perencanaan kota, Teknik sipil, hingga disiplin ilmu hukum. Ilmu hukum sebagai
ilmu sosial juga memiliki peran yang vital di sini sebagai pemberian
pendampingan terhadap proses-proses yang ada agar selalu sesuai koridor hukum
yang ada. Adanya kebutuhan akan disiplin ilmu geodesi pun adalah untuk memudahkan
pekerjaan, serta memastikan segala sesuatunya telah berjalan baik.
Konsolidasi lahan sebagai suatu
metode penataan kota yang dimaksudkan untuk mengakali sulitnya proses
pembebasan lahan pada pembangunan-pembangunan biasa, jangan sampai justru
menjadi masalah-masalah baru. Lakukan proses-proses yang ada dengan
sebaik-baiknya, dimulai dari pemilihan lokasi yang tepat, penjajagan dan
musyawarah hingga mencapai kesepakatan, pembuatan peta yang sebaik-baiknya,
penataan ulang kapling yang adil, konstruksi yang sesuai dengan kesepakatan
desain, hingga berakhir di sertipikasi lahan-lahan konsolidasi. Jika tiap-tiap
prosesnya telah dilakukan dengan baik dan seadil-adilnya, hingga masyarakat
tidak merasa dirugikan, lebih-lebih diuntungkan dengan sistem konsolidasi lahan
ini, artinya metode ini sudah sukses dilaksanakan. Sehingga metode ini dapat
diterapkan di banyak daerah di Indonesia sesuai dengan konteks kebutuhan daerah
masing-masing.
*diajukan untuk sayembara kajian himpunan
Daftar Pustaka
Anonim. Tinjauan Umum Tentang Konsolidasi Tanah dan Hukum Perikatan.
Bandung: UIN Sunan Gunung Djati.
Nurlinda, Ida. 2010. Metode Konsolidasi Tanah untuk Pengadaan Tanah yang
Partisipasif dan Penataan Ruang yang Terpadu. Bandung: Fakultas Hukum Unpad.
Pakaya, Ihsan. Sawitri Subiyanto. Arwan Putra Wijaya. 2014.
Evaluasi Perubahan Nilai Tanah dan Penggunaan Tanah Pasca Program Konsolidasi
Tanah Perkotaan. Semarang: Program Studi Teknik Geodesi Undip.
Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi
Tanah.
Wijaya, Gede Putra. 2016. Praktik Konsolidasi Tanah
Perkotaan Sebagai Altenatif Model Pembangunan Wilayah Perkotaan Tanpa
Pembebasan Tanah. Semarang: Program Studi Ilmu Hukum Undip.
Komentar
Posting Komentar