Langsung ke konten utama

Aing tea

Foto saya
Muhammad Hafidz Fauzan
Sebenarnya tidak terlalu suka dunia tarik tangan. Tapi, masih terus berusaha untuk rajin-rajin menulis. Karena katanya dia percaya dia punya banyak hal di kepalanya yang harus dibanjur di suatu tempat. Suka makan, dan tidur, gak cuma itu masih banyak yang dia suka lakukan, tapi yang jelas dia suka Chelsea FC sebagai suatu klub sepakbola. Kontak saya di twitter @Pids29 atau tulisan yang agak serius di Medium @hafidzfz

Ekspedisi Nusantara Jaya ITB 2018 - 2a

Akhirnya sampai juga di tujuan kami Desa Talonang Baru. Koordinasi awal yang baik dengan pejabat desa membuahkan kemudahan-kemudahan di kemudian hari. Kami diberi tempat tinggal selama mukim satu rumah dengan 4 kamar dan ruangan tengah yang cukup luas. Untuk kami ber-25 orang(17 laki-laki, 8 perempuan) ini cukup meskipun terpaksa harus campur laki-laki dengan perempuan dalam satu rumah, tapi harusnya tidak ada masalah lagipula kami semua sudah besar, sudah sama-sama paham, dan mesti sama-sama saling menjaga, ini juga bagus untuk memudahkan interaksi tim, dan belajar saling menghargai(terutama antar-gender). Ruang tengah yang cukup luas juga sangat cocok untuk kegiatan bersama tim seperti rapat, makan, sampai bersenang-senang. Setelah sampai rumah dan sedikit rapi-rapi, kami terpisah-pisah lagi tak sabar melihat dunia Talonang. Aku bersama 4 orang lain memilih pergi ke lapangan bola untuk bermain bola bersama warga. Sejak sore itu kami paham bahwa seluruh warga di sini mungkin sekali sudah tahu kedatangan kami sejak sebelum-sebelumnya, ketika kami datang ke lapangan kami sudah dikenali sebagai mahasiswa asal Bandung dan beberapa keistimewaan lain yang aku rasakan di hari-hari awal kami di sana. Malamnya kami kedatangan beberapa pemuda setempat, membicarakan banyak hal, ngopi, dan makan kuaci hingga larut. Dilanjutkan rapat untuk memulai kehidupan kami di sini dan seterusnya kemudian istirahat tidur. Esok hari tentunya akan sangat menyenangkan.
Suasana rapat sehari-hari yang syahdu, ngantuk, berat di kantong mata, dan extremly kondusif

Barangkali untuk memudahkan akan kuceritakan terlebih dahulu tentang kegiatan umum kami dan sehari-harinya by default. Setiap harinya kami dijadwalkan untuk bangun pukul 03.00 - kalau kamu pikir itu mungkin sayangnya itu tidak terjadi - sebelum subuh UNTUK YANG BERTUGAS MASAK pagi itu SAJA. Ya Setiap orang dijadwalkan memasak atau mencuci piring tergantung penempatan dengan jadwal yang berlaku selama sehari penuh. Kawan-kawan yang lain kira-kira bangun ketika subuh - atau lebih tepatnya 1-2 jam setelah subuh, tapi banyak juga kok yang subuhan di masjid - untuk kemudian siap-siap bersih-bersih, lanjut sarapan, briefing sedikit dan berangkat. Kemudian siang kembali ke rumah untuk makan siang, tanpa jadwal tidur siang - tapi beberapa orang tetap tidur siang sih - kembali keluar rumah dan bekerja sampai sore sekitar jam 3/4 biasanya sudah kembali lagi  ke rumah. Sorenya bermain atau berjalan-jalan atau mandi di sungai - dan yang tugas masak , ya masak lagi lagi dan lagi - yang jelas sore adalah waktu bebas KECUALI UNTUK PETUGAS MASAK. Kemudian sholat maghrib di masjid dilanjutkan dengan mengajar ngaji yang dibagi ke 3 tsekolah ngaji berbeda, biasanya selesai setelah Isya. Malam biasanya menerima tamu, dan yang pasti ada rapat untuk membicarakan rencana esok harinya. Lalu tidur kira-kira jam 11/12 setiap malamnya (dan besok pukul 03.00 petugas masak harus sudah mulai memasak). Cukup padat dan melelahkan.

Dan kami jadwal dari 13 hari berada di sana sebagai berikut, 4 hari pertama social mapping, 1 hari selanjutnya fokus membereskan data-data untuk tulisan(sebab kami berencana membuat buku catatan perjalanan), 2 hari selanjutnya difokuskan pada perencanaan dan fiksasi program, hari selanjutnya mulai eksekusi beberapa program dan menambah deadline fiksasi bagi beberapa program, 5 hari sisanya total untuk menjalankan program-program sambil tentunya menyelesaikan pr-pr yang lain seperti pengerjaan video dan tulisan untuk buku. 

Social Mapping
Barangkali terdengar tidak menarik dan mudah, tapi ini adalah salah satu bagian terpenting dalam integrasi kami ke dalam masyarakat. Terpenting dari tahap ini adalah mengenalkan diri kami kepada masyarakat Talonang Baru, supaya kami bisa saling familiar, dan kami juga bisa mengenali masyarakat, personalnya, maupun kebiasaan-kebiasaannya. Pada kasus ini ada 2 output yang kami kejar yakni data-data untuk menyusun judul tulisan dan isi tulisannya, serta data-data untuk menyusun rencana program. Ini tidak mudah sebab salah-salah observasi, salah rekognisi, kami bisa salah paham dan membuat tulisan dan atau program yang salah nantinya, dan ini betul kejadian -_-. Kami dibagi ke dalam beberapa tim yang menyebar ke berbagai penjuru mata angin dilakukan selama 4 hari. Empat hari terasa cukup panjang untuk dihabiskan berjalan-jalan, sekedar ngobrol-ngobrol, jajan di warung - meskipun bukan berarti mudah dan tidak melelahkan - apalagi berjalan terus di siang yang terik. Ketika bertemu warga, tentu banyak sapaan dan pertanyaan "mau ke mana dik?" dengan jawaban yang hampir selalu sama selama 4 hari "jalan-jalan aja Bu/Pak". Sampai di hari keempat pertanyaan orang-orang mulai berubah menjadi "Lagi jalan-jalan ya dek?", dan jawabannya juga berubah menjadi "Iya Bu/Pak". Hingga saya berpikir seolah-olah  orang-orang berpikir bahwa kerjaan kami di sini hanya jalan-jalan, oh tidak jangan sampai begitu. Barangkali kami sangat diharapkan dapat memberikan sesuatu di sini, tapi yang masyarakat dapatkan hanyalah kami yang setiap hari berjalan-jalan. Maaf Pak/Bu, sebab kami tidak akan menjawab "kami sedang sosmap Bu/Pak" bisa panjang urusannya nanti.
Sosmap memang saatnya menjadi so akrab. Lah itu anak siapa Tong?

Sebagai Bagian Redaksi
Saya bekerja di bagian redaksi tim ini yang tugasnya hmm. intinya memastikan semua anggota tim ini sudah membuat tulisan, mengumpulkannya, memeriksa isi dan editing, sampai mengurus pe-layouting-an, dan mencetak. Tim ini digawangi Bang Zaim(selanjutnya akan dipanggil tanpa Bang untuk mengurangi jumlah karakter tertulis, ia sangat ekspresif), Jaya(ia seorang pemikir bebas), dan saya(yang malas berpikir). Hampir tiap malam kami rapat sendiri untuk terus memperbarui strategi dan evaluasi karena pusing memikirkan penentuan judul tulisan, tim menulis, memastikan semua orang sudah mengumpulkan data sampai cukup, dan prosedur-prosedur lainnya sebagai jalan agar tidak ada satupun yang skip. Menulis ini bukan perkara mudah, hanya segelintir yang senang menulis, dan yang cakap menulis mungkin hanya segelintirnya dari segelintir yang awal tadi. Rumit.

Waktu 2 hari untuk menentukan judul bagi masing-masing tim juga bukan hal yang mudah, ternyata banyak isu yang bisa disoroti yang baru diketahui setelah kami tinggal lebih lama. Tim redaksi harus bekerja lebih keras untuk mengatasi keperluan menambah isu penting dalam buku kami yang membuat kami sempat menumpang tronton besar, menikmati angin di mobil bak terbuka, hingga menyusur sungai kering tanpa arah. Sembari itu pun kami juga bekerja sebagai hantu untuk kelompok-kelompok menulis lain yang tidak kunjung membereskan urusan menulisnya, membuat kami jengkel, mereka pun jengkel. Dalam keadaan kami yang selain harus memastikan semua-muanya, juga wajib mengikuti berbagai rancangan program. Kompleks.

Mendidik Bukan Karena Saya Lebih Unggul
Pendidikan Informal dari komunitas titikoma
Yang aku jumpai selama ini, semoga aku salah, orang-orang di daerah merasa Jawa lebih unggul dan dijadikan patokan kebesaran dan kesuksesan, ia lambang modernitas dan kemakmuran. Pun orang-orang Jawa yang notabene mungkin memang berpengetahuan lebih luas, nampak dapat menguasai keadaan, cakap dalam berbicara, dan berkeahlian menarik. Dan dengan standar-standar yang sebetulnya tidak penting-penting amat itu, orang-orang daerah mungkin merasa perlu pergi ke Jawa untuk menjadi lebih 'maju', sedangkan sisanya menjadi minder karena tidak bisa menjadi 'Jawa'. Padahal kan tidak semestinya begitu.

Hey ia sangat bersemangat
Di tempat ini hanya ada 2 sekolah yakni SD-SMP Satu Atap, dan MTs Al Kautsar. Kegiatan kami lebih banyak difokuskan di SD-SMP Satap. Kami sangat ingin merasakan upacara bendera di tempat ini tapi kebiasaan buruk telat menghancurkan keinginan itu terwujud, hari senin itu kami datang tidak tepat waktu. Sedangkan kami hanya memiliki satu senin selama berada di sana sehingga kesempatan itu dengan segera menjadi musnah.  Hampir setiap pagi, kami bersama siswa-siswa SD-SMP memulai pagi dengan senam pagi yang kami pimpin, kelihatannya siswa-siswa senang. Selain itu juga mengisi kelas yang gurunya berhalangan hadir. Keberadaan guru di tempat ini langka dan berharga. Tidak mudah mencari guru-guru berdedikasi yang bersedia ditempatkan di daerah yang ke mana-mana jauh dan serba sulit seperti ini. Dan salut setinggi-tingginya bagi banyak guru yang mengabdi di sini, mereka lebih tangguh dari  batman yang hanya berani tinggal di Kota Gotham. Semoga pendidikan dapat memberikan kita yang paling dasar dalam kehidupan ini, memaknai kehidupan.

Latihan Marching Band
Selain itu kami memiliki program mengajar TPA setelah maghrib, dan yang terakhir melatih anak-anak marching band. Ini ada dari permintaan sekolahnya sendiri, dan kebetulan ada anggota tim kami yang memang cukup ahli untuk hal ini yakni Rinda, seorang anggota(bahkan petinggi?) di MBWG ITB, sebuah klub Marching Band di ITB, salah satu unit elite. Ternyata mereka memiliki berbagai peralatan marching band yang mahal-mahal itu dan seragamnya sekaligus dan tidak ada satupun yang mahir untuk memainkannya dan kesulitan mencari pelatih sebab jaraknya yang begitu jauh dari Kota. Namun satu minggu belajar marching band kepada orang-orang yang bahkan hampir tidak mengenal alat musik sama sekali adalah menembus ketidakmungkinan. Solusinya adalah belajar praktis, lewat lagu, dan melibatkan guru-guru dalam pengajaran dengan harapan ada keberlanjutan dari guru-guru nanti sepeninggal kami. Hampir setiap sore latihan ini dilakukan, dan aku termasuk ikut melatih tim alat musik semacam pianika yang dipukul dengan kayu yang bahkan aku tidak tahu nama alat tersebut apa tapi aku mencoba mengajari mereka semua. Tapi karena aku sedikit paham prinsip-prinsip pianika, tuts-tuts lagu Ibu Kita Kartini tidaklah sulit. Namun melatih/mengajari adalah keahlian lainnya yang nampaknya juga kumiliki cukup baik. Sejujurnya aku sendiri cukup heran dengan kenyataan adanya alat-alat marching band yang begitu memaksakan diri ini. Kenapa harus memaksakan diri menjadi modern dengan kesenian-kesenian modern-barat, padahal ada banyak kesenian dan kebudayaan sendiri yang dilupakan sedemikian, adakan saja suatu ekskul kesenian Sumbawa. Itu mesti akan sangat menarik dan barangkali juga lebih mudah mencari pelatih. Ahh sudahlah, kalau benar-benar jadi, marching band Talonang Baru akan tetap keren.


(bagian 2 sebagai bagian yang membahas kehidupan selama di Talonang Baru, memuat cukup banyak kisah sehingga diberi label 2a sampai selesai nantinya. Artinya akan dibuat tulisan lanjutan untuk bagian perjalanan yang sama)
*terima masukan di kolom komentar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

sajak kecil tentang perasaan saya yang ada kamu di dalamnya

manusia pada umumnya, dalam berbagai kesempatan, dalam berbagai lini kehidupan, dikaluti dengan rasa takut. termasuk pada hal-hal yang berkaitan dengan perasaan termasuk pada hal-hal yang berkaitan dengan cinta bukan hanya takut tidak dicintai kita bahkan takut mencintai takut karena takut tidak dicintai perasaan yang tidak berbalas apakah bisa menjadi alasan tidak mencintai? padahal dalam mencintai kita adalah sebagai subjek, kita bebas memutuskan terlepas dicintai atau tidak, di mana kita bertindak sebagai objek, kita tidak bisa memutuskan kita tidak perlu memutuskan sampai pada titik kita merasa harus mengatakan pada orang itu bahwa saya mungkin mencintaimu saya menyukaimu dalam bentuknya yang sulit saya definisikan sendiri atau alasan-alasan tertentu yang bisa saja saya karang untuk meyakinkanmu sebab saya tidak perlu meyakinkan diri sendiri saya tahu diri saya lebih dari siapapun di bumi ini dan orang lain di luar sana tidak perlu tahu apa-apa tentang kita saya mungkin takut menga

Tersesat Pada Waktu

Barangkali rindu tidak hanya memerlukan jarak dan waktu Tapi juga kau dan aku Atau ingatanku tidak cukup sempurna Tanpa kisah kita Pada tepian pengharapan aku menemukan diriku yang entah bagaimana bisa hilang Pada tepian waktu yang kutemukan hanya dirimu yang menjauh Sebabnya aku tau mau sampai pada ujung waktu Waktu terasa cepat saat dunia hanya ada kita Kala itu kuingin masuk dan mengubah dimensi waktu Sehingga hanya aku dan kamu saja tiba-tiba sudah selamanya Tapi waktu melarangku Belum sempat kusimpan senyummu yang melarangku tersenyum balik sebab bibirku hanya bisa kelu saat itu Belum sempat kuabadikan bola matamu pada pelupuk matamu yang menyipit di satu maupun keduanya Dan rapi putih gigimu dan tawa maka aku pun berantakan karenanya  Pada akhirnya hanya ada diriku yang sendirian Duduk di atas tumpukan batu di tepian sungai yang berisik yang ramai pada kesepian Sedang aku menepi, kesepian dalam keramaian -Kemah Kerja, 3 Agustus 2019