Tim harusnya
sudah berangkat jam 4 berkumpul di Cisitu. Aku – jam 4 kurang 10 – masih sibuk
membereskan barang yang belum lengkap, pergi ke indomaret Sekeloa, dan belum
mandi. Dengan kecepatan secepat kilat semuanya selesai pukul 4 lewat 5.
Kuacuhkan semua telepon yang mencoba membangunkanku – “Hei aku sudah bangun,
ini sudah di motor!” – kemudian diantar kawan dan melesat ke Cisitu. Turun dari
motor lalu berlari rusuh(sebab sambil membawa carrier besar dan daypack) lalu
mendapati bahwa mereka semua masih di sana, sedang menunggu beberapa yang belum
datang(setidaknya aku bukan yang terakhir) dan menunggu mobil transportasi
online tiba. Tapi ya tetap saja aku salah telah membuat semuanya khawatir –
khawatir aku belum bangun, masa ditinggal begitu saja?! – dan tidak menunggu
lama aku langsung naik mobil yang datang kedua bersama 4 orang yang lain. Pukul
05.30 Kereta Api Pasundan berangkat dari Stasiun Bandung dengan tujuan Stasiun
Gubeng Surabaya.
Dua puluh lima carrier besar penuh dengan isinya yang
‘memberontak’ disimpan dalam satu gerbong Kereta Api sampai memakan bagasi di
atas kursi penumpang lain – kita pura-pura gatau aja kalau orang lain
terzoholimi – dan beberapa masih harus disimpan di bawah kursi sebab tak ada
cukup bagasi. Sedikit zholim dan ironis mungkin ya, kami pergi untuk melakukan
semacam-pengabdian-masyarakat di sana, tapi mengancam kenyamanan masyarakat di
sini. Tapi it’s not such a big matter
here, semuanya masih aman terkendali. Semua tim masuk kereta, semua tas
tersimpan, beberapa tas disimpan di sekitar kursi sendiri, beberapa buku(banyak
sebetulnya) dikeluarkan dari tas, beberapa obrolan mulai terdengar, beberapa
makan, beberapa yang lain langsung memilih tidur. Kami bersiap untuk bersabar,
ngalor-ngidul-molor dalam perjalanan kereta selama 15 jam.
Kereta
sesungguhnya memang transportasi yang paling nyaman untuk berpergian secara
beramai-ramai. Selain lebih murah, lebih mudah, tampungannya yang banyak dapat
menampung kami semua dalam satu gerbong saja, perjalanan menjadi lebih seru
jika kami busa duduk bersama-sama. Tapi bagi yang pergi sendiri, kenyataan ini
mungkin adalah berarti ketidaknyamanan. Orang yang pergi sendiri akan bercanda
dengan siapa, akan ngobrol dengan siapa, apa yang busa dilakukan orang
sendirian di kereta selama 15 jam? Ya, mungkin hanya tidur dan membaca
buku(ngobrol dengan orang baru di kereta mungkin saja, tapi case-nya tidak sering). Dan keinginan
untuk tidur dan membaca ini pasti akan sangat terganggu oleh rombongan
sebelah(maksudnya rombongan kami), yang akan sangat berisik selama perjalanan,
minimal beberapa jam pertama pasti sangat berisik dalam semangat yang masih
tinggi.
Begitulah
kenyataannya. Kami sangat berisik, bercanda bersama, tertawa, main permainan,
ngobrol, hingga diskusi-diskusi serius, seberisik itu. Dan aku sendiri merasa
ada pandangan-pandangan sinis kepada kami mungkin sebabnya karena tidak nyaman
dengan berisik ini, kami pun sebetulnya menjaga sedikit-sedikit tapi ya sulit,
mereka pun tidak berani sampai menegur langsung. Sesungguhnya banyak hal dari
perjalanan kereta membosankan kami ini menyatukan kami, apalagi ada 3 anggota
baru tim(menggantikan 3 lain yang tidak jadi bisa berangkat). Aku tidak banyak
mengenal kawan2 tim sebelum perjalanan kereta ini(maklum orang intorvert), tapi
karena hanya berinteraksi adalah satu hal yang paling bisa dilakukan selama
perjalanan, aku mulai mengenal semuanya satu per satu. Hei bahkan sebelum
berangkat aku belum sempat hafal nama keseluruhan orang!
Singkat cerita
pukul 10 malam kami tiba di Stasiun Surabaya Gubeng, dan ini pertama kali aku
menginjakkan kaki di Surabaya. Turun kereta, konsolidasi tim sebentar, lanjut
ke Kampus B UNAIR dengan mobil transportasi online. Di Masjid Kampus B UNAIR(Masjid
Nurul Zaman) inilah kami akan menginap malam ini, kami sudah berkoordinasi
dengan mahasiswa pengurus masjidnya, dan memang disediakan tempat khusus
menginap di sini. Sampai, menyimpan tas, kemudian aku dan beberapa yang lain
keluar untuk mencari makan. Agak sulit mencari makan sebab sudah larut malam,
perlu berjalan agak jauh hingga menemukan beberapa warung kaki lima yang masih
buka. Aku memilih makan rujak cingur(itu khas Surabaya kayaknya), semacem
gado-gado sih aku rasa, tapi ada cingurnya. Cingur di sini ternyata lidah
kerbau, aku sendiri sebetulnya gacocok sama rasanya apalagi porsinya sangat
banyak. Tapi ya tetap habis sebab saya menganut paham anti mubazir club. Malam
itu pun dihabiskan tidur di masjid hingga subuh tiba.
Selanjutnya kami
akan berangkat dengan kapal laut KMP Legundi menuju Pulau Lombok – ENJ sebagai
program kementerian maritim mengharuskan kami menggunakan kapal, KALAU TIDAK
BEGITU MARITIMNYA SEBELAH MANA!!! – yang dijadwalkan berangkat pukul 5 sore. Transportasi
kapal laut sangat rebutan sekali
untuk masalah tempat, dan didahulukan untuk naik kapal adalah
kendaraan-kendaraan(mobil, motor, bus). Artinya orang-orang dengan kendaraan
memiliki keuntungan untuk mencari tempat paling enak dengan busa masuk kapal
duluan dibanding orang-orang seperti kami yang masuk kapal sebagai individu dan
tanpa kendaraan yang harus masuk belakangan. Pintu masuknya berbeda, jadi kapal
mengangkut mobil dan kendaraan2 lain, setelah selesai barulah pintu masuk untuk
orang-orang baru dibuka. Hal ini wajar mengingat cara demikian akan memudahkan
mobilisasi dengan resiko yang lebih kecil. Kapal laut besar memiliki beberapa
fasilitas yang terbatas, dengan bayaran masuk yang sama. Kasusnya berbeda-beda
di setiap kapal, tapi secara general terbagi menjadi beberapa bagian untuk
penumpang. Pertama, bagian yang dibagi per ruangan/pembatas dilengkapi AC dan
cocok untuk rombongan. Ini mungkin yang paling enak dan aman untuk orang yang
berpergian bersama-sama. Kedua, bagian kapal dengan kursi-kursi individu persis
seperti bus namun dalam skala ukuran kapal. Cukup enak juga, tapi per individu
kursinya, ruangan besar, dan disediakan tv film biasanya. Yang ketiga,
kursi-kursi panjang dengan meja panjang di bagian luar kapal ditemani angin
laut.
Saya tidak ada di foto, karena harus mengabdi dalam tim pertama |
Dengan info
tersebut(dari awak kapal yang sempat kami hubungi sebelumnya), kami
berkeinginan untuk mendapatkan fasilitas yang pertama. Maka, untuk sebuah kapal
yang berangkat jam 5 sore, tim pertama berjumlah 5 orang berangkat terlebih
dahulu ke Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya untuk mengamankan tempat. Dengan
rencana sisanya nanti menyusul. Aku termasuk ke dalam tim pertama ini dan tiba
jam 12 siang sudah memegang tiket, menunggu di pintu masuk untuk kendaraan.
Kami mencoba masuk tapi tidak diperbolehkan. Mungkin karena memang belum
waktunya KMP Legundi menaikkan penumpang, dan masih didahulukan untuk
kapal-kapal yang lain. Berjam-jam menunggu di bawah terik dan dalam
ketidakpastian. Kami juga sempat bertemu dengan seorang laki-laki berjanggut
lebat dan bergamis(Kukira ia adalah seorang pendakwah) dan ngobrol panjang
lebar dengannya(kupikir ia adalah bagian dari Jamaah Tabligh). Ia mengaku tahu
dan pernah ke Talonang Baru. Ia sering berpergian untuk berdakwah/ceramah
setiap sekian periode sekali(sayang sekali aku tidak mampu untuk mengingat
namanya). Tapi akhirnya tiba juga sekitar hampir jam 4 – dan sebetulnya
kawan-kawan yang lain juga sudah sampai, namun menunggu di pintu masuk untuk
pejalan kaki – saat itu mobil-mobil, motor, bus, dan truk diperkenankan untuk
masuk pelabuhan. Kami – berlima – “kucluk, kucluk, kucluk,” berjalan melewati
pintu masuk(TANPA DIPERIKSA TIKET, mungkin karena dikira bagian dari kendaraan)
masuk lewat pintu kendaraan tadi dan menuju kapal, terlihat dari sini kawan2
lain yang sedang menunggu di pintu. Kami masuk kapal dan, hmm ternyata ruangan
kelas satu tadi sudah penuh. Tapi kemudian aku bertemu dengan laki-laki
pendakwah tadi, dan dia memberikan satu tempat yang sudah diamankannya untuk
kami(dia mengaku kalau dirinya dan keluarganya sudah ada tempat yang lain).
Alhamdulillah, ia sangatlah baik (padahal kemudian aku menemukan ia berada di
kelas 2, aku rasa ia sebetulnya memang memerlukan 2 ruangan). Kelas 1 memiliki
ukuran yang tiap ruangannya tidaklah besar, dan tidak juga cukup untuk kami
semua, sehingga diputuskan untuk setengah kami di sana dan setengah sisanya di
ruangan kelas 2. Yang penting di setiap waktunya ada yang stay untuk menjaga barang-barang.
KMP Legundi
berangkat hampir jam 6 sore(padahal jadwalnya jam 5), dan perjalanan memakan
waktu sampai kira-kira 22 jam kurang sedikit. Bahagianya kapal laut adalah keleluasaan.
Kapal cukup luas untuk bermain-main, berkumpul, jalan-jalan, mungkin busa juga
dicoba jogging keliling naik-turun kapal. Begitulah waktu di kapal kami habuskan,
mirip-mirip dengan di kereta. Lebihnya, pemandangan laut yang indah,
pemandangan sunset dan sunrise di laut, angin malam laut(besar dan dingin
sekali), dan sedikit lebih bebas untuk berisik di ruangan terbuka. Waktu 22 jam
ini juga sangat berguna untuk (sekali lagi) bonding
tim. Yang paling kuingat – dan ini paling absurd – dikomandoi oleh Amin
Zaim – seorang mahasiswa tingkat akhir yang menunda kelulusan untuk ikut ENJ
’sambil nyari jodoh’ – beberapa dari kami secara bersama-sama menyanyikan
lagu-lagu nasional. Singkat cerita, setelah perjalanan panjang, melelahkan,
dibumbui goyangan-goyangan khas kapal laut, setelah melewati Pulau Bali kami
pun tiba di Pulau Lombok, tepatnya Pelabuhan Lembar.
Seturunnya dari
Kapal, kami telah ditunggu bus. Kali ini kami menaiki Bus DAMRI(yang sudah
dipesan sejak jauh hari dan nantinya akan mengantar kami untuk keberangkatan
selanjutnya), dengan tujuan Pool DAMRI Lombok. Perjalanan bus tidak terlalu
lama sebab Lombok memang hanya pulau kecil, di perjalanan bus kami sempat
melihat ada iring-iringan yang nampaknya adalah suatu acara pernikahan. Kurang
lebih satu jam perjalanan hingga jam 5 sore kami pun sampai di Pool DAMRI
Lombok. Dan di sinilah kami akan menginap untuk malam ini, di sebelah masjid
kecilnya. Tas disimpan, dan tidak lama kemudian beberapa orang – dengan lelah
namun semangat masih tinggi-tingginya – mulai meninggalkan tempat, mencari
angin dan berjalan-jalan. Beberapa lagi melakukan koordinasi dengan orang DAMRI
mengenai keberangkatan besok pagi, beberapa memilih istirahat dan bersih-bersih
diri.
Malam hari kami
melakukan rapat koordinasi menjelang sampai di lokasi yang sudah di depan mata.
Rapat menyangkut keberangkatan besok, teknis-teknis redaksi untuk kepenulisan
buku kami – ya kami akan membuat BUKU! – serta teknis-teknis keberadaan di sana
nantinya, dan persiapan rencana kegiatan di lokasi. Kawan-kawan nampaknya
kesulitan mengikuti topik-topik ini, apalagi dalam keadaan yang sedang
lelah-lelahnya(dan beberapa perdebatan di antara para petinggi divisi). Ah
lupakan saja, singkat saja akhirnya kami tidur di sana, berdempetan seperti
pengungsi dari antah-berantah.
Sejak subuh
sekali kami harus sudah bersiap untuk berangkat dengan Bus DAMRI jurusan
Lombok-Talonang Baru. Mari kusebutkan beberapa fakta terlebih dahulu. Talonang
Baru tujuan kami itu memang betul-betul desa terakhir yang dijangkau oleh DAMRI
jurusan ini, yang baru beroperasi satu tahun terakhir. Hanya beroperasi satu
kali setiap harinya dan berangkat dari awal pukul 6 pagi. Bis ini melintas dari
tengah Lombok ke timur Lombok tepatnya Pelabuhan Kayangan, dilanjut masuk kapal
laut melintasi Selat Alas hingga turun di Pelabuhan Poto Tano di Sumbawa.
Dilanjut melintas di Kabupaten Sumbawa Barat, berjalan ke arah selatan
naik-turun perbukitan dengan beberapa bagian jalan yang sangat buruk hingga
akhirnya nanti tiba di Desa Talonang Baru dan berhenti tepat di ujung desa ini.
Supir bus ini mengatakan fakta yang lebih heboh lagi yakni, bus tidak akan bisa
melanjutkan perjalanan jika terjadi hujan deras di Sumbawa nantinya sebab kondisi
jalanan tidak memungkinkan bus ini untuk lewat, dan ada beberapa cerita mistis
tentang perjalanan menuju ke sana seperti jurang naga dan kampung hilang.
Singkat saja, jam
6 pagi kami sudah bersiap untuk berangkat. Tas-tas carrier yang banyak dan-memberontak-itu disimpan sebagian besar di
atas bis diikat tali agar bagian dalam bis tetap lowong. Tidak sesuai
ekspektasi kami bahwa bus akan disediakan khusus untuk kami, ternyata bus ini
tetap untuk umum. Sehingga bus akan berisikan kami bersama penumpang-penumpang
lain dengan tujuan yang melintasi jalan Sumbawa Selatan, sebab ini satu-satunya
bus ke arah sana. Merekalah yang sebetulnya berhak untuk menggunakan bus ini,
kalau mereka tidak bisa menggunakan bus ini lalu mereka akan pulang ke Talonang
dengan apa lagi? Tidak ada transportasi yang lain. Pertama-tama agak kosong
sebab hanya kami di dalam bis, semakin berjalan semakin banyak yang naik, dan
keadaan bus menjadi sangat penuh. Bagi para penumpang yang biasa naik bus ini
mungkin bukan hal biasa, sebab jelas-jelas bus ini penuh karena keberadaan
kami. Mungkin sebelumnya hampir tidak pernah kejadian seperti ini. Ketika
keadaan bus seperti ini, kami tentu harus mengalah untuk mengambil posisi yang
lebih sulit, bahkan berdiri untuk memprioritaskan warga umum orang tua yang ada
di dalam bisa.
Bus masuk kapal,
kami keluar dan menuju kabin kapal. Kapal melewati selat alas hanyalah kapal
berukuran sedang tanpa pembagian kelas yang kentara perbedaannya. Selat Alas
dilewati hanya dalam 3 jam perjalanan kapal. Kemudian kami semua naik bus DAMRI
lagi dan melanjutkan perjalanan di tanah Sumbawa. Terasa sekali bahwa tanah di
sini di sekitar Pelabuhan Khayangan sangat gersang dan menyerupai
padang-padang, persis mirip seperti di film Marlina. Beberapa jam awal jalanan
mulus saja ditemani keadaan siang yang terik, pemandangan yang gersang, serta
laut di ujung pandangan. Lama kelamaan semua hilang berubah menjadi hutan
hujan, tanpa laut namun perbukitan, dan jalanan yang ‘sangat’ jelek terbuat
dari batuan-batuan kerikil dan tanah. Rasanya seperti jalan bagus diselangi
jalan jelek, kemudian jalan bagus lagi, tidak lama kemudian jalan jelek, jalan
bagus- jalan jelek- jalan bagus- jalan jelek, untungnya tidak hujan. Jalanan
yang seperti itu dilewati sambil melewati tanjakan, belokan, dan turunan.
Sering-seringlah beristighfar, rasanya lebih buruk daripada goyangan di Kapal
Laut Selat Bali. Dengan beberapa penumpang kami pun berkenalan, salah satu yang
paling kuingat adalah Ibu Novi yang baru saja menengok anaknya yang berekolah
SMK di Sekongkang dan menuju pulang ke Talonang Baru SP 4. Setelah melewati
Sekongkang bagian kota, diselingi hutan-hutan, mulai tampak pemukiman penduduk
Desa Transmigrasi dari SP 1, diselingi hutan lagi, lalu tampak Desa
Transmigrasi SP 2. Begitu seterusnya hingga sampailah kami di Desa Transmigrasi
SP 3(yang terletak setelah SP 4).
Desa dengan label
Satuan Perumahan (SP) 3 inilah yang menjadi tujuan kami selama 3 hari
perjalanan ini. Desa ini – bersama dengan SP 4 – adalah bagian dari Desa
Administrasi Talonang Baru. Setelah perjalanan sejak 20 Juli 2018 pukul 4 pagi,
hingga akhirnya kami tiba pada 23 Juli pukul 4 sore. Perjalanan – pura-pura –
tak kenal lelah 60 jam ini berakhir dengan MENGESANKAN.
*share masukanmu di kolom komentar di bawah
Komentar
Posting Komentar