Langsung ke konten utama

Aing tea

Foto saya
Muhammad Hafidz Fauzan
Sebenarnya tidak terlalu suka dunia tarik tangan. Tapi, masih terus berusaha untuk rajin-rajin menulis. Karena katanya dia percaya dia punya banyak hal di kepalanya yang harus dibanjur di suatu tempat. Suka makan, dan tidur, gak cuma itu masih banyak yang dia suka lakukan, tapi yang jelas dia suka Chelsea FC sebagai suatu klub sepakbola. Kontak saya di twitter @Pids29 atau tulisan yang agak serius di Medium @hafidzfz

Ekspedisi Nusantara Jaya ITB 2018 – 1


Tim harusnya sudah berangkat jam 4 berkumpul di Cisitu. Aku – jam 4 kurang 10 – masih sibuk membereskan barang yang belum lengkap, pergi ke indomaret Sekeloa, dan belum mandi. Dengan kecepatan secepat kilat semuanya selesai pukul 4 lewat 5. Kuacuhkan semua telepon yang mencoba membangunkanku – “Hei aku sudah bangun, ini sudah di motor!” – kemudian diantar kawan dan melesat ke Cisitu. Turun dari motor lalu berlari rusuh(sebab sambil membawa carrier besar dan daypack) lalu mendapati bahwa mereka semua masih di sana, sedang menunggu beberapa yang belum datang(setidaknya aku bukan yang terakhir) dan menunggu mobil transportasi online tiba. Tapi ya tetap saja aku salah telah membuat semuanya khawatir – khawatir aku belum bangun, masa ditinggal begitu saja?! – dan tidak menunggu lama aku langsung naik mobil yang datang kedua bersama 4 orang yang lain. Pukul 05.30 Kereta Api Pasundan berangkat dari Stasiun Bandung dengan tujuan Stasiun Gubeng Surabaya.

Dua puluh lima carrier besar penuh dengan isinya yang ‘memberontak’ disimpan dalam satu gerbong Kereta Api sampai memakan bagasi di atas kursi penumpang lain – kita pura-pura gatau aja kalau orang lain terzoholimi – dan beberapa masih harus disimpan di bawah kursi sebab tak ada cukup bagasi. Sedikit zholim dan ironis mungkin ya, kami pergi untuk melakukan semacam-pengabdian-masyarakat di sana, tapi mengancam kenyamanan masyarakat di sini. Tapi it’s not such a big matter here, semuanya masih aman terkendali. Semua tim masuk kereta, semua tas tersimpan, beberapa tas disimpan di sekitar kursi sendiri, beberapa buku(banyak sebetulnya) dikeluarkan dari tas, beberapa obrolan mulai terdengar, beberapa makan, beberapa yang lain langsung memilih tidur. Kami bersiap untuk bersabar, ngalor-ngidul-molor dalam perjalanan kereta selama 15 jam.

 
Kereta sesungguhnya memang transportasi yang paling nyaman untuk berpergian secara beramai-ramai. Selain lebih murah, lebih mudah, tampungannya yang banyak dapat menampung kami semua dalam satu gerbong saja, perjalanan menjadi lebih seru jika kami busa duduk bersama-sama. Tapi bagi yang pergi sendiri, kenyataan ini mungkin adalah berarti ketidaknyamanan. Orang yang pergi sendiri akan bercanda dengan siapa, akan ngobrol dengan siapa, apa yang busa dilakukan orang sendirian di kereta selama 15 jam? Ya, mungkin hanya tidur dan membaca buku(ngobrol dengan orang baru di kereta mungkin saja, tapi case-nya tidak sering). Dan keinginan untuk tidur dan membaca ini pasti akan sangat terganggu oleh rombongan sebelah(maksudnya rombongan kami), yang akan sangat berisik selama perjalanan, minimal beberapa jam pertama pasti sangat berisik dalam semangat yang masih tinggi.

Begitulah kenyataannya. Kami sangat berisik, bercanda bersama, tertawa, main permainan, ngobrol, hingga diskusi-diskusi serius, seberisik itu. Dan aku sendiri merasa ada pandangan-pandangan sinis kepada kami mungkin sebabnya karena tidak nyaman dengan berisik ini, kami pun sebetulnya menjaga sedikit-sedikit tapi ya sulit, mereka pun tidak berani sampai menegur langsung. Sesungguhnya banyak hal dari perjalanan kereta membosankan kami ini menyatukan kami, apalagi ada 3 anggota baru tim(menggantikan 3 lain yang tidak jadi bisa berangkat). Aku tidak banyak mengenal kawan2 tim sebelum perjalanan kereta ini(maklum orang intorvert), tapi karena hanya berinteraksi adalah satu hal yang paling bisa dilakukan selama perjalanan, aku mulai mengenal semuanya satu per satu. Hei bahkan sebelum berangkat aku belum sempat hafal nama keseluruhan orang!

Singkat cerita pukul 10 malam kami tiba di Stasiun Surabaya Gubeng, dan ini pertama kali aku menginjakkan kaki di Surabaya. Turun kereta, konsolidasi tim sebentar, lanjut ke Kampus B UNAIR dengan mobil transportasi online. Di Masjid Kampus B UNAIR(Masjid Nurul Zaman) inilah kami akan menginap malam ini, kami sudah berkoordinasi dengan mahasiswa pengurus masjidnya, dan memang disediakan tempat khusus menginap di sini. Sampai, menyimpan tas, kemudian aku dan beberapa yang lain keluar untuk mencari makan. Agak sulit mencari makan sebab sudah larut malam, perlu berjalan agak jauh hingga menemukan beberapa warung kaki lima yang masih buka. Aku memilih makan rujak cingur(itu khas Surabaya kayaknya), semacem gado-gado sih aku rasa, tapi ada cingurnya. Cingur di sini ternyata lidah kerbau, aku sendiri sebetulnya gacocok sama rasanya apalagi porsinya sangat banyak. Tapi ya tetap habis sebab saya menganut paham anti mubazir club. Malam itu pun dihabiskan tidur di masjid hingga subuh tiba.

Selanjutnya kami akan berangkat dengan kapal laut KMP Legundi menuju Pulau Lombok – ENJ sebagai program kementerian maritim mengharuskan kami menggunakan kapal, KALAU TIDAK BEGITU MARITIMNYA SEBELAH MANA!!! – yang dijadwalkan berangkat pukul 5 sore. Transportasi kapal laut sangat rebutan sekali untuk masalah tempat, dan didahulukan untuk naik kapal adalah kendaraan-kendaraan(mobil, motor, bus). Artinya orang-orang dengan kendaraan memiliki keuntungan untuk mencari tempat paling enak dengan busa masuk kapal duluan dibanding orang-orang seperti kami yang masuk kapal sebagai individu dan tanpa kendaraan yang harus masuk belakangan. Pintu masuknya berbeda, jadi kapal mengangkut mobil dan kendaraan2 lain, setelah selesai barulah pintu masuk untuk orang-orang baru dibuka. Hal ini wajar mengingat cara demikian akan memudahkan mobilisasi dengan resiko yang lebih kecil. Kapal laut besar memiliki beberapa fasilitas yang terbatas, dengan bayaran masuk yang sama. Kasusnya berbeda-beda di setiap kapal, tapi secara general terbagi menjadi beberapa bagian untuk penumpang. Pertama, bagian yang dibagi per ruangan/pembatas dilengkapi AC dan cocok untuk rombongan. Ini mungkin yang paling enak dan aman untuk orang yang berpergian bersama-sama. Kedua, bagian kapal dengan kursi-kursi individu persis seperti bus namun dalam skala ukuran kapal. Cukup enak juga, tapi per individu kursinya, ruangan besar, dan disediakan tv film biasanya. Yang ketiga, kursi-kursi panjang dengan meja panjang di bagian luar kapal ditemani angin laut.

Saya tidak ada di foto, karena harus mengabdi dalam tim pertama
Dengan info tersebut(dari awak kapal yang sempat kami hubungi sebelumnya), kami berkeinginan untuk mendapatkan fasilitas yang pertama. Maka, untuk sebuah kapal yang berangkat jam 5 sore, tim pertama berjumlah 5 orang berangkat terlebih dahulu ke Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya untuk mengamankan tempat. Dengan rencana sisanya nanti menyusul. Aku termasuk ke dalam tim pertama ini dan tiba jam 12 siang sudah memegang tiket, menunggu di pintu masuk untuk kendaraan. Kami mencoba masuk tapi tidak diperbolehkan. Mungkin karena memang belum waktunya KMP Legundi menaikkan penumpang, dan masih didahulukan untuk kapal-kapal yang lain. Berjam-jam menunggu di bawah terik dan dalam ketidakpastian. Kami juga sempat bertemu dengan seorang laki-laki berjanggut lebat dan bergamis(Kukira ia adalah seorang pendakwah) dan ngobrol panjang lebar dengannya(kupikir ia adalah bagian dari Jamaah Tabligh). Ia mengaku tahu dan pernah ke Talonang Baru. Ia sering berpergian untuk berdakwah/ceramah setiap sekian periode sekali(sayang sekali aku tidak mampu untuk mengingat namanya). Tapi akhirnya tiba juga sekitar hampir jam 4 – dan sebetulnya kawan-kawan yang lain juga sudah sampai, namun menunggu di pintu masuk untuk pejalan kaki – saat itu mobil-mobil, motor, bus, dan truk diperkenankan untuk masuk pelabuhan. Kami – berlima – “kucluk, kucluk, kucluk,” berjalan melewati pintu masuk(TANPA DIPERIKSA TIKET, mungkin karena dikira bagian dari kendaraan) masuk lewat pintu kendaraan tadi dan menuju kapal, terlihat dari sini kawan2 lain yang sedang menunggu di pintu. Kami masuk kapal dan, hmm ternyata ruangan kelas satu tadi sudah penuh. Tapi kemudian aku bertemu dengan laki-laki pendakwah tadi, dan dia memberikan satu tempat yang sudah diamankannya untuk kami(dia mengaku kalau dirinya dan keluarganya sudah ada tempat yang lain). Alhamdulillah, ia sangatlah baik (padahal kemudian aku menemukan ia berada di kelas 2, aku rasa ia sebetulnya memang memerlukan 2 ruangan). Kelas 1 memiliki ukuran yang tiap ruangannya tidaklah besar, dan tidak juga cukup untuk kami semua, sehingga diputuskan untuk setengah kami di sana dan setengah sisanya di ruangan kelas 2. Yang penting di setiap waktunya ada yang stay untuk menjaga barang-barang.

KMP Legundi berangkat hampir jam 6 sore(padahal jadwalnya jam 5), dan perjalanan memakan waktu sampai kira-kira 22 jam kurang sedikit. Bahagianya kapal laut adalah keleluasaan. Kapal cukup luas untuk bermain-main, berkumpul, jalan-jalan, mungkin busa juga dicoba jogging keliling naik-turun kapal. Begitulah waktu di kapal kami habuskan, mirip-mirip dengan di kereta. Lebihnya, pemandangan laut yang indah, pemandangan sunset dan sunrise di laut, angin malam laut(besar dan dingin sekali), dan sedikit lebih bebas untuk berisik di ruangan terbuka. Waktu 22 jam ini juga sangat berguna untuk (sekali lagi) bonding tim. Yang paling kuingat – dan ini paling absurd – dikomandoi oleh Amin Zaim – seorang mahasiswa tingkat akhir yang menunda kelulusan untuk ikut ENJ ’sambil nyari jodoh’ – beberapa dari kami secara bersama-sama menyanyikan lagu-lagu nasional. Singkat cerita, setelah perjalanan panjang, melelahkan, dibumbui goyangan-goyangan khas kapal laut, setelah melewati Pulau Bali kami pun tiba di Pulau Lombok, tepatnya Pelabuhan Lembar.
 
Seturunnya dari Kapal, kami telah ditunggu bus. Kali ini kami menaiki Bus DAMRI(yang sudah dipesan sejak jauh hari dan nantinya akan mengantar kami untuk keberangkatan selanjutnya), dengan tujuan Pool DAMRI Lombok. Perjalanan bus tidak terlalu lama sebab Lombok memang hanya pulau kecil, di perjalanan bus kami sempat melihat ada iring-iringan yang nampaknya adalah suatu acara pernikahan. Kurang lebih satu jam perjalanan hingga jam 5 sore kami pun sampai di Pool DAMRI Lombok. Dan di sinilah kami akan menginap untuk malam ini, di sebelah masjid kecilnya. Tas disimpan, dan tidak lama kemudian beberapa orang – dengan lelah namun semangat masih tinggi-tingginya – mulai meninggalkan tempat, mencari angin dan berjalan-jalan. Beberapa lagi melakukan koordinasi dengan orang DAMRI mengenai keberangkatan besok pagi, beberapa memilih istirahat dan bersih-bersih diri.

Malam hari kami melakukan rapat koordinasi menjelang sampai di lokasi yang sudah di depan mata. Rapat menyangkut keberangkatan besok, teknis-teknis redaksi untuk kepenulisan buku kami – ya kami akan membuat BUKU! – serta teknis-teknis keberadaan di sana nantinya, dan persiapan rencana kegiatan di lokasi. Kawan-kawan nampaknya kesulitan mengikuti topik-topik ini, apalagi dalam keadaan yang sedang lelah-lelahnya(dan beberapa perdebatan di antara para petinggi divisi). Ah lupakan saja, singkat saja akhirnya kami tidur di sana, berdempetan seperti pengungsi dari antah-berantah.

Sejak subuh sekali kami harus sudah bersiap untuk berangkat dengan Bus DAMRI jurusan Lombok-Talonang Baru. Mari kusebutkan beberapa fakta terlebih dahulu. Talonang Baru tujuan kami itu memang betul-betul desa terakhir yang dijangkau oleh DAMRI jurusan ini, yang baru beroperasi satu tahun terakhir. Hanya beroperasi satu kali setiap harinya dan berangkat dari awal pukul 6 pagi. Bis ini melintas dari tengah Lombok ke timur Lombok tepatnya Pelabuhan Kayangan, dilanjut masuk kapal laut melintasi Selat Alas hingga turun di Pelabuhan Poto Tano di Sumbawa. Dilanjut melintas di Kabupaten Sumbawa Barat, berjalan ke arah selatan naik-turun perbukitan dengan beberapa bagian jalan yang sangat buruk hingga akhirnya nanti tiba di Desa Talonang Baru dan berhenti tepat di ujung desa ini. Supir bus ini mengatakan fakta yang lebih heboh lagi yakni, bus tidak akan bisa melanjutkan perjalanan jika terjadi hujan deras di Sumbawa nantinya sebab kondisi jalanan tidak memungkinkan bus ini untuk lewat, dan ada beberapa cerita mistis tentang perjalanan menuju ke sana seperti jurang naga dan kampung hilang.

Singkat saja, jam 6 pagi kami sudah bersiap untuk berangkat. Tas-tas carrier yang banyak dan-memberontak-itu disimpan sebagian besar di atas bis diikat tali agar bagian dalam bis tetap lowong. Tidak sesuai ekspektasi kami bahwa bus akan disediakan khusus untuk kami, ternyata bus ini tetap untuk umum. Sehingga bus akan berisikan kami bersama penumpang-penumpang lain dengan tujuan yang melintasi jalan Sumbawa Selatan, sebab ini satu-satunya bus ke arah sana. Merekalah yang sebetulnya berhak untuk menggunakan bus ini, kalau mereka tidak bisa menggunakan bus ini lalu mereka akan pulang ke Talonang dengan apa lagi? Tidak ada transportasi yang lain. Pertama-tama agak kosong sebab hanya kami di dalam bis, semakin berjalan semakin banyak yang naik, dan keadaan bus menjadi sangat penuh. Bagi para penumpang yang biasa naik bus ini mungkin bukan hal biasa, sebab jelas-jelas bus ini penuh karena keberadaan kami. Mungkin sebelumnya hampir tidak pernah kejadian seperti ini. Ketika keadaan bus seperti ini, kami tentu harus mengalah untuk mengambil posisi yang lebih sulit, bahkan berdiri untuk memprioritaskan warga umum orang tua yang ada di dalam bisa.
 
Bus masuk kapal, kami keluar dan menuju kabin kapal. Kapal melewati selat alas hanyalah kapal berukuran sedang tanpa pembagian kelas yang kentara perbedaannya. Selat Alas dilewati hanya dalam 3 jam perjalanan kapal. Kemudian kami semua naik bus DAMRI lagi dan melanjutkan perjalanan di tanah Sumbawa. Terasa sekali bahwa tanah di sini di sekitar Pelabuhan Khayangan sangat gersang dan menyerupai padang-padang, persis mirip seperti di film Marlina. Beberapa jam awal jalanan mulus saja ditemani keadaan siang yang terik, pemandangan yang gersang, serta laut di ujung pandangan. Lama kelamaan semua hilang berubah menjadi hutan hujan, tanpa laut namun perbukitan, dan jalanan yang ‘sangat’ jelek terbuat dari batuan-batuan kerikil dan tanah. Rasanya seperti jalan bagus diselangi jalan jelek, kemudian jalan bagus lagi, tidak lama kemudian jalan jelek, jalan bagus- jalan jelek- jalan bagus- jalan jelek, untungnya tidak hujan. Jalanan yang seperti itu dilewati sambil melewati tanjakan, belokan, dan turunan. Sering-seringlah beristighfar, rasanya lebih buruk daripada goyangan di Kapal Laut Selat Bali. Dengan beberapa penumpang kami pun berkenalan, salah satu yang paling kuingat adalah Ibu Novi yang baru saja menengok anaknya yang berekolah SMK di Sekongkang dan menuju pulang ke Talonang Baru SP 4. Setelah melewati Sekongkang bagian kota, diselingi hutan-hutan, mulai tampak pemukiman penduduk Desa Transmigrasi dari SP 1, diselingi hutan lagi, lalu tampak Desa Transmigrasi SP 2. Begitu seterusnya hingga sampailah kami di Desa Transmigrasi SP 3(yang terletak setelah SP 4).

Desa dengan label Satuan Perumahan (SP) 3 inilah yang menjadi tujuan kami selama 3 hari perjalanan ini. Desa ini – bersama dengan SP 4 – adalah bagian dari Desa Administrasi Talonang Baru. Setelah perjalanan sejak 20 Juli 2018 pukul 4 pagi, hingga akhirnya kami tiba pada 23 Juli pukul 4 sore. Perjalanan – pura-pura – tak kenal lelah 60 jam ini berakhir dengan MENGESANKAN.



*share masukanmu di kolom komentar di bawah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

sajak kecil tentang perasaan saya yang ada kamu di dalamnya

manusia pada umumnya, dalam berbagai kesempatan, dalam berbagai lini kehidupan, dikaluti dengan rasa takut. termasuk pada hal-hal yang berkaitan dengan perasaan termasuk pada hal-hal yang berkaitan dengan cinta bukan hanya takut tidak dicintai kita bahkan takut mencintai takut karena takut tidak dicintai perasaan yang tidak berbalas apakah bisa menjadi alasan tidak mencintai? padahal dalam mencintai kita adalah sebagai subjek, kita bebas memutuskan terlepas dicintai atau tidak, di mana kita bertindak sebagai objek, kita tidak bisa memutuskan kita tidak perlu memutuskan sampai pada titik kita merasa harus mengatakan pada orang itu bahwa saya mungkin mencintaimu saya menyukaimu dalam bentuknya yang sulit saya definisikan sendiri atau alasan-alasan tertentu yang bisa saja saya karang untuk meyakinkanmu sebab saya tidak perlu meyakinkan diri sendiri saya tahu diri saya lebih dari siapapun di bumi ini dan orang lain di luar sana tidak perlu tahu apa-apa tentang kita saya mungkin takut menga

Tersesat Pada Waktu

Barangkali rindu tidak hanya memerlukan jarak dan waktu Tapi juga kau dan aku Atau ingatanku tidak cukup sempurna Tanpa kisah kita Pada tepian pengharapan aku menemukan diriku yang entah bagaimana bisa hilang Pada tepian waktu yang kutemukan hanya dirimu yang menjauh Sebabnya aku tau mau sampai pada ujung waktu Waktu terasa cepat saat dunia hanya ada kita Kala itu kuingin masuk dan mengubah dimensi waktu Sehingga hanya aku dan kamu saja tiba-tiba sudah selamanya Tapi waktu melarangku Belum sempat kusimpan senyummu yang melarangku tersenyum balik sebab bibirku hanya bisa kelu saat itu Belum sempat kuabadikan bola matamu pada pelupuk matamu yang menyipit di satu maupun keduanya Dan rapi putih gigimu dan tawa maka aku pun berantakan karenanya  Pada akhirnya hanya ada diriku yang sendirian Duduk di atas tumpukan batu di tepian sungai yang berisik yang ramai pada kesepian Sedang aku menepi, kesepian dalam keramaian -Kemah Kerja, 3 Agustus 2019