Langsung ke konten utama

Aing tea

Foto saya
Muhammad Hafidz Fauzan
Sebenarnya tidak terlalu suka dunia tarik tangan. Tapi, masih terus berusaha untuk rajin-rajin menulis. Karena katanya dia percaya dia punya banyak hal di kepalanya yang harus dibanjur di suatu tempat. Suka makan, dan tidur, gak cuma itu masih banyak yang dia suka lakukan, tapi yang jelas dia suka Chelsea FC sebagai suatu klub sepakbola. Kontak saya di twitter @Pids29 atau tulisan yang agak serius di Medium @hafidzfz

Ekspedisi Nusantara Jaya ITB 2018 - 2b (selesai)



Barangkali aku hanya perlu melanjutkan tentang bagian 2a terkait beberapa hal menarik selama kegiatan kami di lokasi,

Air dan Sungai Kehidupan
Kami sampai di Talonang ketika musim sedang kemarau menuju hujan, ya itu kalau saya tidak salah sekali lagi. Faktanya tempat yang berada di selatan sumbawa ini dan sebelahan sama pantai, bukan tempat yang makmur air. Pengelolaan dan pengolahan air belum bagus dan warga kerap kali masih kesulitan dengan air. Air ada namun terbatas. Justru di musim hujan orang-orang kesulitan air (bersih) dan di musim hujan air ada (namun cukup terbatas). Dan problem air ini lebih jauh lagi juga menghambat pertanian warga. Warga Talonang, petaninya hidup dari bertani jagung yangg memerlukan air yang cukup terutama di masa-masa awal penanamannya, setelah beberapa waktu tanaman jagung akan menjadi lebih kuat memerlukan tidak banyak air. Problemnya adalah di musim kemarau setelah jagungnya dipanen, ladang dilepas dan warga mencari hal lain untuk menghasilkan uang. Ya, ladangnya nganggur.
Ladangnya kering kan?


Dan masalah air tentu memengaruhi kami juga sebagai pendatang, sebagai tamu. Air keran rumah kami menyala hanya di waktu-waktu tertentu saja dan tidak banyak. Mengalir dari mana? Mengalir dari penampungan air di luar, yang dipasok dari mobil air setiap 2 sampai 3 hari sekali. Mari dibayangkan kehidupan satu rumah ber- 25, dengan 3 kali sehari masak. Air diperlukan untuk mandi, cuci, kakus, dan masak untuk 25 orang. Mungkin hidup dengan pasokan air 3 hari sekali? Sayangnya tidak, maka perlu mencari alternatif untuk semua keperluan itu... Setiap orang di rumah dilarang mandi, mencuci baju, dan buang air besar di rumah. Maka kamar mandi masjid dan tetangga dan sungai menjadi korban. Setiap waktu memasak kami juga perlu mengambil air di tempat lain. Datangnya mobil pemasok air adalah bagian dari bahagia itu sederhana yang meringankan beban kami.
Mobil penyuplai air


Aku sendiri kebetulan memilih menyedikit mandi dan jika iya menyempatkan ke sungai. Sungai ini berjarak hampir 2km dari rumah dan menjadi tempat menyenangkan untuk mandi dan mencuci baju, airnya cukup jernih, dan kami bergerak agak ke dalam untuk menghindar dari jalan umum. Sejujurnya ini adalah pengalaman pertama buatku untuk secara rutin menjadikan sungai untuk mandi, maklum kaum urban. Tapi jujur sangat menyenangkan sebab mandi ini jadi seperti renang bersama kawan-kawan saja bedanya yang ini pakai sabun sampo dan sikat gigi. Sambil mandi di sungai sambil bercerita dan mengobrol ini itu ditemani suara aliran sungai yang syahdu, bunyi burung yang kikuk, dan hembusan angin yang menggerakkan dahan-dahan hutan di pinggiran. Alami Bung!
Pengalaman ini sudah tidak ada lagi di kota-kota


Terkait keperluan air untuk memasak sebetulnya ada cerita yang lucu-ironis yang sempat kualami. Saat itu aku dan tim memasak mendapat jatah memasak. Sebagai seseorang yang berkemampuan memasak rendah, aku biasa memulai dari mencari pekerjaan lain yang fokusnya bukan memasak. Maka pada suatu sebelum subuh (sekitar jam 3), aku berniat mengisi jeriken dengan air dari kamar mandi masjid. Sekitar 2 jeriken sudah penuh, kemudian air dituang ke bak lain di rumah dan kembali ke masjid untuk mengisi lagi jerikennya. Ternyata tidak sampai penuh, air di masjid ini menipis dan hampir habis setelah agak lama kupaksa kutunggu agak lama. Ya sudah kucukupkan dan awalnya aku merasa biasa saja tidak masalah. Selesai, lanjut memasak lalu terdengar azan subuh. Kami pun berangkat ke masjid dan WADALAH kondisi menjadi agak keos sebab warga kebingungan dengan air masjid yang "loh kok habis", agaknya kondisi seperti hampir tidak pernah terjadi. Orang-orang yang belum wudhu di rumah pun akhirnya menumpang wudhu ke rumah-rumah sekitar masjid. Kami pun menjadi so2 kebingungan juga, sampai akhirnya ya selesai sholat dan masalah itu berlalu begitu saja. Peristiwa ini sepertinya jadi konflik batin buat saya saja, sebab sayalah salah satu aktor utama penyebabnnya. Maafkan saya semuanya wahai Bapak dan Ibu yang baik hati. Setelah peristiwa itu kami mencari sumber air lain yang lebih "halal" di suatu sumur milik bersama.
Sumur andalan gue


Memasak
Hampir selama 2 minggu penuh itu kami selalu memasak sendiri hidangan untuk dimakan bersama. Yang sederhana-sederhana saja tetap nikmat. Kami sudah membekalkan cukup banyak sambal terasi, kecap, bon cabe, mie hingga sup krim untuk makan sehari-hari. Beberapa makanan basah juga kami coba cari selama di sini. Salah satu yang harus bisa dilakukan ekspeditor adalah tidak banyak pilih-pilih makanan, semakin mulut dan perutnya kompromistis, akan semakin mudah menjalani hidup. Sesekali makan makanan kesukaan boleh saja untuk meningkatkan mood yang sedang lelah. Keperluan memasak nasi yang banyak pernah membuat saya khilaf. Saya memuat proporsi beras dan air yang kurang bagus hingga menjadi terlalu lembek. Suatu waktu yang lain saya khilaf dan membuat proporsi yang membuahkan nasi terlalu keras. Serba salah padahal saya bukan Raisa. Lebih parah lagi saya pernah lupa memasang mode masak pada penanak nasi sehingga satu jam terbuang percuma dan perut-perut kawan di sekitar saya terus menggerutu. Mohon maap sabandungeun.

Dangdutan
Kebetulan sekali kami berada di sana dekat-dekat 17 Agustus, sehingga sedang diadakan awal-awal perlombaan Agustusan. Salah satunya ada lomba menyanyi dangdut. Kami ditawarkan ada yang ikut juga, tapi tidak ada yang bersedia, tepatnya ga berani mungkin yaa, Tapi diminta jadi juri juga, yang ini ada yang bersedia 2 orang bantu-bantu jadi juri. Suatu malam perlombaan diadakan, kami ikut ke sana dan meramaikan. Satu-dua penyanyi bernyanyi, umumnya lagu yang dibawakan dangdut mirip-mirip rhoma irama yang santai bukan dangdut koplo. Sudah belasan, ditawarkan lagi "ini anak-anak KKN ada yang mau nyumbang ga?", malu-malu menolak tapi akhirnya menerima. Didahului Anin, akan membawakan Jaran Goyang. Pertama hanya sendiri nyanyi, kemudian yang lain kawan-kawan ikut joget ikut ngerusuh, Di tengah-tengah banyak juga orang Talonang yang ikut joget-joget. Irama koplo yang ramai ditambah orang yang bergoyang bersama-sama dan debu di tempat membuat suasana tiba-tiba menjadi sangat ramai dan seru.

sayang janganlah kau waton serem
hubungan kita semula adem
tapi sekarang kecut bagaikan asem
semar mesem semar mesem
Bergoyang bersama


Tas Kayu
Mulai pekan kedua di Talonang kami mulai melakukan perencanaan mengenai program yang akan dilakukan. Ada banyak dan ya sejujurnya sederhana saja, kami yang justru banyak belajar dari mereka semua warga masyarakat di sini. Program yang merespon kebutuhan air, program mengajar sekolah, mengajar ngaji, mengajar marching band, program menyiasati kesulitan berkebun akibat kemarau, program post to post learning (aku lupa isitlah umumnya hehe), dan beberapa yang lainnya. Aku sendiri awalnya memilih fokus di program membuat tas sederhana. Hanya berdua yakni aku dan Bima (si bosqu).

Idenya sederhana saja, orang-orang di sini terutama dilakukan ibu-ibu, mengangkut suatu barang baik yang besar/kecil, banyak/sedikit, berat/ringan selalu menaruhnya di atas kepala. Sampai di titik ini kami berpikir bahwa ini bukanlah hal yang baik, selain memang pastinya ribet/repot juga kasihan lehernya mesti sakit. Aku sendiri tergabung di 'proyek' ini sederhana saja pikirku, sebagai anak teknik kukira pembuatan alat seperti inilah yang diharapkan, pesawat yang sangat sederhana pun cukup yang jelas idenya sudah ada. Akhirnya inisiatifnya adalah membuat suatu tas sederhana dari kayu ditalikan karet ban dan dapat menjadi alat untuk membantu mengangkut kayu, lebih mudah dan leher tidak akan menjadi sakit. Kayu dicari di hutan, karet ban dapat dari minta di toko. Kami pun langsung eksekusi membuat tas sederhana tadi.
Pramuka ga sia-sia 


Singkat cerita, prototype tas kayu sederhana ini pun selesai. Selanjutnya kami ingin mengetahui reaksi warga dengan membawa tas ini keliling-keliling kampung. Responnya nampaknya warga tidak terlihat begitu tertarik dengan barang ini. Ketika kami berbincang dengan Bu Bidan dan suami, kami dipahamkan bahwa ya barang-barang sesederhana ini mah warga pun bisa membuat dan paham. Tapi ya cara-cara membawa barang di kepala itu memang budaya orang-orang di sini, dan memang selama ini tidak ada masalah dan tidak merasa sakit leher. Ya begitulah, budaya itu bukan sesuatu yang bisa diubah dalam sehari- dua hari, budaya juga tidak perlu diubah selama tidak bermasalah. Dan yaaa sebelum memutuskan membuat ini-itu, so-soan membawa perubahan, baiknya observasi matang-matang, konfirmasi setiap hipotesis, baru kita boleh berani membawa solusi. Matangkan semua rencana!



*terima masukan di kolom komentar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

sajak kecil tentang perasaan saya yang ada kamu di dalamnya

manusia pada umumnya, dalam berbagai kesempatan, dalam berbagai lini kehidupan, dikaluti dengan rasa takut. termasuk pada hal-hal yang berkaitan dengan perasaan termasuk pada hal-hal yang berkaitan dengan cinta bukan hanya takut tidak dicintai kita bahkan takut mencintai takut karena takut tidak dicintai perasaan yang tidak berbalas apakah bisa menjadi alasan tidak mencintai? padahal dalam mencintai kita adalah sebagai subjek, kita bebas memutuskan terlepas dicintai atau tidak, di mana kita bertindak sebagai objek, kita tidak bisa memutuskan kita tidak perlu memutuskan sampai pada titik kita merasa harus mengatakan pada orang itu bahwa saya mungkin mencintaimu saya menyukaimu dalam bentuknya yang sulit saya definisikan sendiri atau alasan-alasan tertentu yang bisa saja saya karang untuk meyakinkanmu sebab saya tidak perlu meyakinkan diri sendiri saya tahu diri saya lebih dari siapapun di bumi ini dan orang lain di luar sana tidak perlu tahu apa-apa tentang kita saya mungkin takut menga

Tersesat Pada Waktu

Barangkali rindu tidak hanya memerlukan jarak dan waktu Tapi juga kau dan aku Atau ingatanku tidak cukup sempurna Tanpa kisah kita Pada tepian pengharapan aku menemukan diriku yang entah bagaimana bisa hilang Pada tepian waktu yang kutemukan hanya dirimu yang menjauh Sebabnya aku tau mau sampai pada ujung waktu Waktu terasa cepat saat dunia hanya ada kita Kala itu kuingin masuk dan mengubah dimensi waktu Sehingga hanya aku dan kamu saja tiba-tiba sudah selamanya Tapi waktu melarangku Belum sempat kusimpan senyummu yang melarangku tersenyum balik sebab bibirku hanya bisa kelu saat itu Belum sempat kuabadikan bola matamu pada pelupuk matamu yang menyipit di satu maupun keduanya Dan rapi putih gigimu dan tawa maka aku pun berantakan karenanya  Pada akhirnya hanya ada diriku yang sendirian Duduk di atas tumpukan batu di tepian sungai yang berisik yang ramai pada kesepian Sedang aku menepi, kesepian dalam keramaian -Kemah Kerja, 3 Agustus 2019